INDONESIA (BUKAN) NEGARA KAYA BATUBARA

24 Juli 2017

cbsengineering.idBatubara memerankankan posisi penting dalam kedaulatan energi di Indonesia. PT PLN sebagai perusahaan milik negara yang juga bergerak dalam penyediaan energi listrik nasional merilis data bauran energi primer mereka secara nasional pada tahun 2016. Pada data tersebut, batubara memiliki porsi tertinggi dengan nilai bauran sebesar 58%. Dengan adanya komitmen pembangunan pembangkit listrik sebesar 35.000 MW yang dituangkan oleh Pemerintahan Presiden Jokowi dalam RPJMN 2015-2019, diperkirakan bauran batubara di dalam energi primer di Indonesia juga terus meningkat.

Indonesia memang boleh dikatakan sebagai sebuah negara yang kaya potensi batubara. Namun apabila dibenturkan dengan pola eksploitasi batubara nasional pada saat ini, label kaya tersebut sepertinya harus segera dicopot untuk menyadarkan berbagai pihak terkait rapuhnya ketahanan energi nasional.

RUPTL PT PLN 2016-2015

Komitmen pembangunan pembangkit listrik oleh Pemerintahan Presiden Jokowi tersebut tentu akan berimplikasi pada cadangan batubara di Indonesia. Pemerintah sendiri telah menetapkan kerangka dalam kebijakan energi nasional hingga tahun 2050 melalui Peraturan Pemerintah (PP) Indonesia Nomor 79 Tahun 2014. Pemerintah menentukan beberapa prinsip dasar pengembangan energi nasional yang tertuang pada pasal 11 ayat 2. Salah satu prinsip yang dianut adalah penggunaan batubara sebagai andalan pasokan energi nasional. Prinsip tersebut tentu mengharuskan setiap elemen yang peduli terhadap kedaulatan energi Indonesia meninjau ulang jumlah cadangan batubara Indonesia saat ini.

Jumlah cadangan batubara Indonesia hanya sebesar 3,1% dari seluruh cadangan dunia. Indonesia jauh berada di belakang Amerika Serikat, Rusia, dan Tiongkok dengan jumlah cadangan batubara berturut turut sebesar 26,6%, 17,6%, dan 12,8% dari total cadangan batubara dunia. Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara sendiri menyebutkan bahwa total cadangan batubara Indonesia adalah 32,37 miliar ton. Jumlah tersebut bervariasi menjadi tiga klasifikasi berdasarkan tingkat kalorinya.

  • Batubara kualitas tinggi – nilai kalori 6100-7100 kal/g dan batubara kualitas sangat tinggi – nilai kalori di atas 7100 kal/g, hanya berjumlah 7,6% dari total cadangan batubara Indonesia. Batubara jenis inilah yang saat ini digunakan untuk menghidupi banyak PLTU dan industri-industri besar di Indonesia.
  • Batubara kualitas sedang – nilai kalori 5100-6100 kal/g, berjumlah 63,1% dari total cadangan batubara Indonesia. Batubara jenis ini banyak digunakan untuk menghidupi PLTU dengan kapasitas pembangkitan besar di Indonesia.
  • Batubara kualitas rendah – nilai kalori di bawah 5100 kal/g, berjumlah 29,4% dari total cadangan batubara Indonesia. Batubara jenis ini tidak banyak dimanfaatkan sehingga dianggap tidak memiliki nilai ekonomis.

Data tersebut menjelaskan secara gamblang bahwa cadangan batubara Indonesia didominasi oleh batubara kualitas rendah hingga sedang. Relatif kecilnya cadangan batubara Indonesia tersebut sangat kontradiktif dibandingkan dengan jumlah produksi batubara nasional. Total produksi batubara nasional pada tahun 2015 tercatat sebesar 471 juta ton dengan jumlah konsumsi domestik sebesar 79 juta ton dan jumlah ekspor sebesar 392 juta ton. Dengan demikian, angka tersebut sekaligus melabeli Indonesia sebagai salah satu pengekspor batubara terbesar di dunia. Hal tersebut bisa dimengerti karena masih belum banyak industri hilir yang memanfaatkan batubara secara optimal di Indonesia sehingga negara kita tidak memiliki banyak pilihan selain mengespor batubara untuk meningkatkan pemasukan negara.

Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) bersama dengan sebuah perusahaan konsultan PricewaterhouseCooper (PwC) menyatakan bahwa cadangan batubara ekonomis terkoreksi di Indonesia hanya bernilai 7,3 – 8,3 miliar ton di akhir 2015. Jumlah cadangan batubara Indonesia diperkirakan bisa habis di tahun 2033-2036 dengan pola produksi batubara nasional seperti saat ini. Kondisi tersebut juga membahayakan proyek 35.000 MW Pemerintahan Presiden Jokowi yang tentunya memiliki porsi pembangkit listrik berbahan bakar batubara.

Beberapa kondisi cadangan batubara Indonesia yang telah dipaparkan di atas harusnya mulai mendesak setiap pihak untuk segera melaksanakan utilisasi batubara Indonesia secara berkelanjutan. Salah satu realisasinya adalah merubah paradigm Sumber Daya Energi, utamanya batubara, sebagai komoditi ekspor menjadi energi sebagai modal pembangunan nasional. Perubahan paradigma tersebut harus diikuti oleh dua hal berikut:

1. Utilisasi Batubara Kualitas Rendah

Batubara kualitas rendah memiliki harga jual yang relatif murah dengan biaya produksi yang tinggi. Rendahnya nilai keekonomian jenis batubara satu ini menjadikannya keluar dari komoditas ekspor utama. Padahal, seperti telah disebutkan di atas, jumlah batubara kualitas rendah di Indonesia terbilang melimpah. Pemanfaatan batubara kualitas rendah menjadi energi dengan teknologi yang sesuai akan menekan pembangunan pembangkit listrik berbahan baku kualitas tinggi. Dengan demikian, jumlah cadangan batubara Indonesia dapat bertahan dalam jangka waktu yang lebih lama.

2. Utilisasi Biomassa Sebagai Bahan Bakar Pengganti Batubara

Indonesia sebagai sebuah negara beriklim tropis tentunya memiliki potensi sumber daya biomassa yang melimpah dan tersedia sepanjang masa (renewable). Selain itu, perkebunan dan pertanian sebagai sektor bisnis yang sangat berkembang di Indonesia tentu menunjukkan potensi sumber bahan baku biomassa yang sangat besar. Direktorat Jenderal EBTKE – Kementerian ESDM telah memetakan potensi produksi biomassa dari berbagai sektor yang ada. Hasilnya adalah potensi sumber daya energi biomassa tercatat sekitar 30.000 MWe, namun hanya 850 MWe (sekitar 2,8%) yang telah termanfaatkan untuk bahan bakar pada pembangkit listrik. Pemanfaatan biomassa menjadi sumber energi akan berdampak langsung pada pengurangan jumlah konsumsi batubara.

Indonesia memang boleh dikatakan sebagai sebuah negara yang kaya batubara. Namun dengan pola eksploitasi batubara nasional seperti yang dilaksanakan saat ini, pantasnya label tersebut harus segera dicopot untuk menyadarkan berbagai pihak terkait rentannya ketahanan energi nasional.